Posted by Unknown | File under :

Masalah akad nikah melalui perkawinan Audivisual adalah masalah baru dalam hukum islamkarena masalah perkawinan melalui Audivisual itu belum jelas keabsahannya, sehingga masyarakat merasa ragu tentang sahnya perkawinan melalui Audivisual tersebut. Mengenai nikah atau perkawinan itu sendiri menurut para Fuqaha umumnya mendefenisikan nikah sebagai akad yang membawa kebolehan bagi laki-laki (suami) umtu behubungan badabn dengan seorang perempuan (isteri).[1]

Pada media Audio berlainan dengan indra pendengar, di mana pasan yang disampaikan dituangkan da;lam lambang-lambang Auitif baik verbal (ke dalam kata-kata atu bahasa lisan)merupakan non verbal. Sedangkan media Visual merupakan media yang bersifat elektronik yang diperoyeksinya.[2]
Akad nikah melalui Audiovisual itu dinggap sah, apabila dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, dan perkawinan Audiovisual itu dapat dilakukan apabila da hajat yang ingin dilkukaan dalam waktu yang lama dan lebih mendesak dan apabila kedua calon mempelai itu telah sama menghendaki untuk itu. Dengan dasar keinginan yang sesuai dengan ketentuan syara.[3]
Jika pernikahan Audiovisual sudah dipenuhi rukun dan syarat nikahnya kecuali membedakan antara pernikahan yang dilakukan adalah letaknya, karena pernikahan Audiovisual dengan jarak yang berjauhan sehingga dapat membedakan dari segi ijab dan kabulnya sebuah pernikahan. Sedangkan syarat sahnya ijab kabul itu harus dalam satu majelis, sedangkan majelis adalah sebuah kumpulan orang-orang dalam sebuah atau satu tempat yang membicarakan sesuatu yang didengar dan dapat dilihat. Jadi sama halnya pernikahan Audiovisual meskipun berjauhan, tetapi dapat dilihat dan dapat didengarkan. Maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan Audiovisual mubah (boleh) dilaksanakan kecuali bagi yang darurat karena tidak ada jalan lain, yang tidak darurat tidak dibolehkan.[4]  


[1] Abd.Rahman Al-Jazairi, Al-Fiqhi Al- Mashab Al Arba’a. (Jilid VI; Beirut: Dar Al-Fikr, 1086), h. 2
[2] Drs. Muh. Basyiruddi Usman, Mpd, Media Pembelajaran, Cet. 1; (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 83

[3] Ibid., h. 57
[4] Muhammad Ichsan, Problematika hokum kontemporer, Cet. II; (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1998), h. 93-94

0 komentar:

Post a Comment