Sebenarnya wujud Allah sudah nyata, bahkan
suatu hakikat yang tidak perlu lagi diragukan persoalannya, tidak ada alasan
mengingkarinya. Wujud Allah Taala sudah terang bagaikan terangnya matahari yang
bersinar, juga sudah jelas sejelas-jelasnya bagaikan cahaya fajar di waktu pagi
yang cerah. Semua yang ada di lingkungan alam semesta ini dapat menjadi bukti
wujudnya Tuhan bahkan benda-benda yang terdapat di sekitar alam semesta dan
unsur-unsurnya dapat pula membuktikan bahwa benda-benda itu pasti ada pencipta
dan pengaturnya
Perhatikanlah alam cakrawala yang ada di atas
kita yang di dalamnya terlihat pula matahari, bulan, bintang dan sebagainya,
demikian pula bumi dengan semua isinya baik berupa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan
dan benda padat, adanya hubungan yang erat dengan perimbangan yang pelik yang
merapikan susunan di antara alam-alam yang beraneka warna serta yang menguatkan
keadaan masing-masing. Semuanya merupakan tanda dan bukti wujudnya Allah swt.
Selain menunjukkan adanya Zat Allah swt. juga membuktikan keesaan dan ke Maha
Kuasaan-Nya menciptakannya. Kiranya tidak tergambar sama sekali dalam akal
pikiran siapa pun bahwa benda-benda itu terjadi tanpa ada yang menciptakan
sebagaimana juga halnya tidak mungkin tergambar bahwa sesuatu ciptaan tidak ada
yang membuatnya.
Manakala akal memustahilkan ada kapal terbang
melayang-layang di udara atau kapal selam menyelam di dasar lautan tanpa ada
pembuatnya, akal akan menetapkan secara pasti mustahil alam semesta yang amat
indah permai ini ada tanpa ada yang menciptakan serta mengatur segala
urusannya. Sementara itu dapat kita kemukakan tiga macam teori yang bisa
dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengemukakan sebab asal mula adanya
alam semesta ini. Kiranya tidak mungkin ada teori lain di balik ketiga macam
yang kami sebutkan di bawah ini.
Pertama. Alam semesta terjadi dari tidak ada
kemudian ada dengan sendirinya.
Kedua. Ada suatu jauhar (sel) inti yang
merupakan sumber dari segala sesuatu yang terdapat di alam semesta yang molek
ini.
Ketiga. Ada yang mengadakan, yang menciptakan
atau yang membuatnya.
Marilah kita mengupas persoalan ini dengan
menguraikan teori di atas satu persatu.
Teori pertama jelas keliru dan salah jika
ditilik secara sepintas dari asas atau pokoknya. Ingatlah bahwa suatu pengaruh
(musabbab) pasti erat hubungannya dengan sebabnya, adanya suatu konklusi pasti
erat pula hubungannya dengan premis atau landasan pemikirannya.
Apakah kiranya patut dalam gambaran akal
pikiran kita, bahwa ada sesuatu pengaruh, tanpa ada sebab yang mempengaruhinya.
Patutkah ada suatu hasil tanpa permulaan atau ada konklusi tanpa ada premis?
Jadi timbulnya alam semesta dari tidak ada sama saja artinya dengan mengatakan
adanya pengaruh tanpa sebab atau adanya hasil tanpa ada permulaan atau adanya
konklusi tanpa ada premis. Jadi seolah-olah alam semesta ini ada sendiri dan
muncul, lepas sama sekali dari adanya sebab, seperti pembuat.
Bahwa adanya benda-benda dari dirinya sendiri,
lepas sama sekali dari sebab, adalah suatu hal yang amat mustahil baik
dipandang dari segi akal atau kejadian yang lazim. Sebabnya ialah karena adanya
benda-benda dari dirinya sendiri terlepas sama sekali dari sebab-sebabnya
adalah memenangkan segi adanya dan mengalahkan segi tidak adanya, tanpa bukti
yang dapat digunakan untuk memenangkannya padahal memenangkan dengan cara yang
demikian ini adalah mustahil sekali.
Renungkanlah! Andai kata kita mengatakan bahwa
alam semesta ini ada dengan sendirinya terlepas sama sekali dari
sebab-sebabnya, maka ucapan semacam ini sama saja dengan mengatakan bahwa
ketiadaan itulah yang merupakan sebab keberadaannya. Patutkah ini dalam pikiran
kita. Itulah sebabnya, maka teori pertama di atas sangat keliru dan meleset,
sebab selamanya tidak dapat dibuktikan bahwa ketiadaan menjadi sebab adanya
alam. Tanpa adanya benda, tentu tidak mungkin dapat memberikannya. Inilah yang
dimaksud oleh ayat Alquran yang berbunyi, “Merekakah yang diciptakan dari
tiadanya sesuatu, ataukah mereka sendiri yang menciptakan? Atau merekalah yang
menciptakan langit dan bumi? (Tidak), melainkan mereka tidak yakin dalam
kepercayaannya." (Q.S. Ath-Thur:35-36)
Maksudnya apakah orang-orang itu diciptakan
tanpa ada penciptanya? Artinya apakah mereka itu sendiri yang menciptakan diri
mereka sendiri, sehingga tidak membutuhkan pihak lain yang menciptakan mereka?
Hal ini jelas mustahil, tidak mungkin atau tidak masuk sama sekali dalam akal
pikiran yang sehat.
Selanjutnya mari kita tinjau teori kedua, teori
ini lebih tersesat dan lebih keliru lagi jika dibandingkan dengan yang pertama,
sebab jauhar (sel) tidak mungkin dapat menimbulkan susunan yang serapi ini,
sebagaimana yang kita saksikan. Tidak pula dapat muncul kekuatan dan keindahan
sebagaimana yang kita lihat. Coba bayangkan, apakah benda inti atau sel yang
bagaimana pun juga keadaannya dapat menciptakan atau membedakan ciptaannya
antara jenis lelaki dan perempuan, jantan dan betina, juga dapat mempertautkan
antara kedua jenis itu dengan rukun seindah ini? Apakah patut sel itu yang
membuat bumi ini dengan segala sesuatu yang ada di situ, baik manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan atau benda padat? Apakah sel itu dapat menggantungkan
bumi kita ini di cakrawala, juga menjalankannya mengelilingi sumbunya yang sama
sekali tidak pernah menggeser dari jalannya sekali pun hanya sekedar sehelai
rambut, padahal sudah berjalan berjuta-juta tahun lamanya? Apakah sel itu pula
menggerakkan jalannya bintang-bintang dan planet-planet yang sedemikian besar
dan banyak dan perjalanannya sangat cepat, benar-benar mengherankan, tanpa
pernah tabrakan sama sekali antara satu dengan yang lain? Patutkah kiranya
dalam akal pikiran kita sel dapat mewujudkan atau membuat unsur-unsur lain yang
merupakan sumber alam semesta? Patutkah sel itu yang mengatur demikian rapi dan
cermat seluruh yang ada di jagat raya ini, menetap sampai suatu masa yang
dikehendaki oleh Allah Taala dan masih sanggup menetap untuk selama-lamanya
jika Allah Taala menghendakinya pula?
Coba renungkan! Patutkah semua yang tersebut di
atas itu terjadi sendiri? Sebenarnya, spesifik, hal ihwal dan bentuk benda atom
yang amat kecil sekalipun sudah sangat membingungkan akal pikiran dan
menakjubkan para ilmuan, karena menilik susunannya yang demikian rapi dan
indah. Pendek kata susunannya sangat ajaib, bahkan hubungan yang terjadi antara
bagian yang satu dengan bagian lainnya benar-benar membuat setiap orang yang
menyaksikannya terpesona. Coba bayangkan hal itu! Apakah layak adanya susunan,
rangkaian dan hubungan itu berlaku dengan kekuasaan sel sebagai benda mati?
Cobalah perhatikan ucapan para ilmuwan yang
bergelut dalam studi atom, apa yang mereka katakan?
Tentang benda atom, para sarjana mengatakan,
“Sesuatu benda itu tersusun dari beberapa buah atom dan atom ini tidak dapat
dilihat sekali pun dengan menggunakan mikroskop yang terkuat. Untuk
membayangkan betapa kecilnya atom ini, bolehlah kita membayangkan bahwa apabila
kita menyusun secara rapi sekali atom demi atom, ditumpuk satu dengan lainnya,
jika kita berhasil menyusun sebanyak seratus juta buah atom, panjangnya baru
kira-kira sehelai benang sutera. Sebagai ilustrasi dapat kita kemukakan bahwa
dalam setetes air laut terdapat lima puluh juta buah atom emas murni.
Atom tersusun dari unit, yang di sekitarnya
berkeliling listrik yang bermuatan negatif yang disebut elektron.
Pengelilingnya membentuk tata surya yang membulat. Antara setiap dua buah
elektron terdapat ruang kosong mirip kekosongan ruang angkasa antara beberapa
planet dengan matahari. Ini jika ditilik dari segi bentuk perkiraan jarak
jauhnya. Timbangan dari unit terringan dapat mencapai 1850 kali timbangan
elektron. Jika dua puluh ribu elektron disusun secara rapi antara satu dengan
lainnya, maka panjang daerahnya adalah seperti panjang daerah atom itu. Dengan
perkataan lain, bahwa perimbangan antara unit dengan atom itu adalah bagaikan
kepala tongkat bila dibandingkan dengan sebuah rumah yang berukuran sedang.
Elektron itu berputar mengelilingi unit dalam
suatu susunan yang menyerupai susunan planet di waktu mengelilingi matahari,
hanya sajini lebih banyak pemberian pengaruhnya tetapi lebih sedikit penentuan
batasnya daripada susunan falak-falak planet itu. Jika sekiranya suatu benda
yang terdiri dari unit-unit atom itu disusun satu dengan lainnya, tanpa ada
ruang kosong di antara unit dan elektron-elektron itu, maka timbangannya sama
dengan sepotong uang dua ketip di sekitar 40 juta ton.
Adapun unit itu sendiri terdiri dari listrik
yang bermuatan positif yang dinamakan proton. Jumlahnya sama dengan jumlah
listrik yang bermuatan negatif yakni elektron yang berkeliling di sekitar unit
itu sendiri.
Di luar proton itu terdapat pula
listrik-listrik lain yang bermuatan netral, inilah yang disebut netron.
Sekiranya kita dapat menguraikan ikatan ini yakni ikatan yang ada antara proton
dan netron atau lebih jelas lagi, andai kata kita dapat menyediakan jalan untuk
melenyapkan sebuah netron dari kumpulan netron-netron yang mengelilingi proton
itu, jika kita dapat memecahkannya, pasti akan menimbulkan suatu kekuatan yang
dahsyat sekali. Orang yang mula-mula memecahkan ini ialah Profesor Einstein.
Kekuatan itu sama dengan himpunan dalam perempatan kecepatan sinar yang
diperkirakan dengan sentimeter setiap detik, demikian peliknya susunan atom
itu. Selanjutnya jika kita berpindah dari persoalan atom dan kita menengadahkan
kepala ke atas sebentar untuk melihat matahari, maka kita mendapatkan suatu
keajaiban yang lebih luar biasa lagi.
Resapkanlah apa yang dikemukakan oleh para
sarjana kosmografi bahwa matahari adalah benda bulat berbentuk bola yang penuh
berisi zat api yang jauh lebih dahsyat dan lebih dapat membakar dari semua api
yang ada di bumi.
Matahari lebih besar daripada bumi, lebih dari
sejuta kali, jauhnya dari kita diperkirakan kira-kira 92.500.000 mil. Sekalipun
demikian keadaan matahari itu, ia tidak lain hanya sebuah bintang saja dan
bukan termasuk dalam golongan bintang yang terbesar. Ada suatu persoalan yang
musykil tetapi amat menakjubkan yaitu pemecahan terakhir yang dilakukan akal
pikiran para ahli falak dan sarjana-sarjana perbintangan.
Sebagaimana diketahui dari ilmu pembentukan
lapisan bumi terdapat sebuah uraian yang menyatakan bahwa matahari secara
terus-menerus tetap memancarkan ukuran atau kadar panasnya, selama berjuta-juta
tahun. Jika panas yang diberikan adalah hasil dari pembakaran, maka apakah
sebabnya matahari tidak pernah kehabisan bahan bakar padahal sudah dipakai
sejak berjuta-juta tahun yang lampau? Dengan keterangan ini jelas rasanya bahwa
jalan pembakaran yang berlangsung pada matahari itu tidaklah sebagaimana yang
lazim kita ketahui, sebab andai kata proses pembakaran itu seperti yang ada di
bumi, maka untuk menerangi jagat ini hanya cukup untuk digunakan selama 6000
tahun saja, setelah itu pasti akan habis daya panasnya.
Mengenai manfaat yang diberikan oleh matahari
kepada kita semua, dapat kita ketahui bahwa matahari bukan hanya sebagai sumber
cahaya dan api saja, tetapi matahari juga merupakan sumber dari susunan tata
surya dan sumber kehidupan kita. Bukankah matahari yang menguapkan air lautan
kemudian mengangkatnya ke atas dan berubah menjadi awan dan selanjutnya berubah
menjadi hujan dan turun di atas permukaan bumi. Kemudian timbul saluran air
sungai besar dan kecil yang dapat mengairi sawah ladang kita, lalu menumbuhkan
tanam-tanaman. Selain itu matahari juga meniupkan angin, menyebabkan timbulnya
gelombang lautan dan menjadikan udara menjadi bersih. Ia pula yang menggerakkan
kapal dan perahu di tengah samudra besar, bahkan ia pula yang menjalankan
kendaraan-kendaraan, memutar mesin-mesin letup dan lain-lain lagi. Betul bahwa
mesin-mesin itu dijalankan oleh arang batu, tetapi bukankah arang batu itu
berasal dari panas cahaya yang terpendam sejak bertahun-tahun yang lampau.
Setelah lama tersimpan baru dapat diambil manfaatnya oleh manusia di kemudian
hari.
Ringkasnya, andaikata tidak ada matahari, pasti
tidak akan ada kehidupan bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Binatang-binatang
menjadi bersemangat karena panas matahari, burung-burung pun bersiul setelah
tampak sinarnya, mengucapkan tasbih serta memahasucikan Zat Yang Maha Menciptakannya.
Juga karena panas dan sinar matahari itu pula tanam-tanaman tumbuh, pohon-pohon
menjadi kian hari kian bertambah besar, bunga-bunga pun muncul, buah-buahan pun
menjadi masak, dan banyak lagi realita lain yang ditimbulkan.
Kita semua berutang budi pada matahari, karena
kita terpaksa menggantungkan hasil makan dan minum kita semua kepadanya. Itulah
sebab adanya kita di atas permukaan bumi ini.
Jika kita sekalian sudah puas melihat keindahan
dan kedahsyatan matahari, maka mari kini kita melihat ke benda lain. Kita akan
menemukan bahwa sedekat-dekat bintang yang ada di samping bumi kita ini setelah
matahari sama dengan 260.000 kali jauh matahari dari kita.
Ini dianggap sebagai bintang yang tersuram
cahayanya kalau ditilik dari galaksi Bimasakti yang oleh orang-orang kuno
disebutkan dengan nama “Jalan penanaman”. Bahkan tata surya yang terdiri dari
berbagai bintang yang merupakan tata surya kita ini hanya dianggap sebagai
sebuah atom kecil saja, jika dibandingkan dengan gugusan Bimasakti itu, sebab
isi kandungannya sebanyak seratus juta bintang yang terpencar dan tersebar luas
seolah-olah bagaikan suatu bidang yang luas secara nisbi.
Pengarang buku Ilmu Falak Umum yang bernama
Herbert Spenser Jones berkata, “Cahaya memakan waktu selama seratus ribu tahun
untuk dapat sampai antara kedua tepi gugusan bintang-bintang Bimasakti.
Sebagaimana dimaklumi bahwa cahaya berjalan dengan kecepatan 176.000 mil per
detik atau 300.000 kilometer. Berdasarkan uraian ini, maka ketentuan cahaya
setahun sama dengan sepuluh bilyun kilometer. Padahal apa yang dikenal dengan
nama gugusan bintang-bintang Bimasakti yang sudah mencapai ukuran sebagaimana
diuraikan di atas, akal pikiran manusia sudah pasti tidak akan meraihnya,
kiranya tidak lain hanyalah salah satu dari sekian banyak susunan yang ada di
alam cakrawala yang sama sekali tidak dapat dihitung.”
Masih ada yang tertinggal yang perlu kita
maklumi yakni bahwa sedekat-dekat tata surya yang mendampingi tata surya kita
ini jauhnya tujuh ratus ribu tahun cahaya. Kini setelah kita mengetahui dan
memahami uraian di atas, mari kita renungkan kemudian bertanya, “Apakah mungkin
diterima akal bahwa semua keadaan semacam susunan tata surya dan lain-lain itu
timbul hanya dari sel atau dengan jalan proses yang ditumbuhkan oleh sel
belaka? Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa sel itu permulaan adanya
alam semesta, yang sedemikian itu sungguh-sungguh tidak dapat tergambar oleh
akal yang sehat, tidak pula cocok dengan ilmu pengetahuan yang hakiki dan
agaknya tidak seorang pun yang akan mengatakannya melainkan jika ia telah
kehilangan ciri khas yang membedakan antara manusia dengan yang bukan manusia.
Manusia semacam ini rasanya sudah tidak dapat menemukan kebenaran dan tidak
pula dapat membedakan sesuatu dari yang lainnya.”
Seorang filosof bangsa Jerman, bernama Edward
Harenman wakil dari Syopenhor berkata dalam bukunya yang bernama Aliran Darwin,
“Sebenarnya pendapat yang menetapkan ketidaksengajaan dalam alam semesta ini
yang dianut oleh pengikut Darwinisme adalah suatu pendapat yang sama sekali
tidak dapat dibuktikan. Itu hanyalah disebabkan karena adanya angan-angan salah
yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam penyelidikan ilmu pengetahuan.”
Profesor Von Bayer dari Jerman dalam bukunya
yang berjudul Kedangkalan Aliran Darwin mengatakan, “Apabila golongan
Darwinisme melancarkan suara sekeras-kerasnya bahwa memang tidak ada
kesengajaan dalam pembuatan atau penciptaan alam semesta ini, atau dengan kata
lain bahwa alam ini terjadi hanya karena suatu proses kebetulan belaka yang
semata-mata terpimpin oleh kedaruratan yang buta, maka saya berkeyakinan bahwa
salah satu kewajiban saya ialah saya harus menyatakan di sini apa yang telah
menjadi keyakinan dan kepercayaan saya dalam persoalan ini. Keyakinan saya itu
adalah sebagai kebalikan sama sekali dari yang tersebut di atas. Saya
berpendapat bahwa semua kedaruratan inilah justru yang membuktikan bahwa di
sana ada berbagai tujuan yang luhur dan besar."
Imam Muhammad Farid Wajdi, rahimahullah,
setelah menguraikan ini, di akhir katanya menyebutkan, “Jika sekiranya kita
dapat merasa puas dengan beratus-ratus puncak ilmu pengetahuan dan filsafat
mengenai pendapat tidak adanya unsur kesengajaan dalam penciptaan alam semesta
dan jagat raya ini, maka tentulah kita tidak diharuskan untuk mengikuti yang
itu lebih dari apa yang sudah jelas tertera dalam nas-nas agama (dalil naqal).”
Oleh sebab itu, manakala sudah tetap bahwa penciptaan alam semesta ini memang
karena adanya kesengajaan, maka tetap pulalah perihal adanya Tuhan yang
mengatur dan bijaksana dari jalan yang sama-sama dapat dirasakan.”
Dengan demikian tidak ada jalan lain untuk
membantah atau mengingkarinya dan ini tepat sekali dengan apa yang difirmankan
oleh Allah Taala, “Apakah dalam Zat Allah masih ada keragu-raguan, yaitu Tuhan
Maha Pencipta langit dan bumi?" (Q.S. Ibrahim:10)
Kini kita kembali kepada perbincangan mengenai
tiga macam teori di muka. Jika yang pertama dan yang kedua sudah dapat
diyakinkan ketidakbenarannya, sebab memang nyata-nyata keluar dari areal yang
dapat diterima oleh akal pikiran serta cara penyelidikan dan ilmu pengetahuan,
maka tidak ada lain yang dapat digunakan sebagai pegangan kecuali teori yang
ketiga. Adapun isi dari teori ini ialah bahwa jagat raya yang maujud ini pasti
ada penciptanya dan pengaturnya. Inilah yang pasti sesuai dengan akal pikiran
serta cara penelitian yang sehat. Pendapat semacam itu pula yang menyebabkan
Socrates mempercayai serta beriman kepada Allah, juga yang dapat menundukkan
Aristophanes yang mengingkari adanya tuhan. Keduanya pernah mengadakan suatu
polemik yang kami kutip sebagai berikut:
Socrates: Adakah orang-orang yang mengherankan
Tuan karena kepandaian mereka atau karena keindahan karyanya?
Aristophanes: Ya ada, seperti dalam hal sajak
atau puisi saya sangat kagum kepada syair-syair cerita dari Homero, dalam
bidang lukisan kepada Zoxes dan dalam hal pembuatan patung kepada Polextic.
Socrates: Pencipta-pencipta manakah yang
kiranya patut lebih dikagumi, apakah pencipta gambar-gambar yang tidak dapat
memberi akal dan kehidupan ataukah pencipta makhluk yang mampu memberinya akal
pikiran serta kehidupan?
Aristophanes: Tentu saja patut lebih dikagumi
pencipta makhluk yang dapat merasakan kenikmatan dan memiliki akal pikiran
serta kehidupan. Tetapi itu terjadi sebagai hasil dari kebetulan belaka!
Socrates: Apakah kiranya patut dianggap sebagai
hal yang kebetulan, jika sekiranya anggota-anggota tubuh ini digunakan untuk
maksud dan tujuan tertentu. Misalnya mata untuk melihat, telinga untuk
mendengar, hidung untuk mencium, lidah untuk merasakan. Lihat pula seperti mata
ini di sekitarnya terdapat berbagai penjagaan, karena sangat sensitif dan
sangat lemah. Oleh karena itu di waktu tidur pasti tertutup atau di waktu ada
keperluan, dilindungi pula dengan bulu mata dan alis di atasnya. Demikian pula
telinga, di dalamnya diberi suatu alat penerima yang dapat menampung segenap
macam suara dan masih banyak lagi contoh yang lain. Cobalah tuan pikirkan,
patutkah itu semua terjadi sebagai hasil dari kebetulan? Selain itu dapat pula
dikemukakan adanya kecondongan dalam hati untuk mempunyai keturunan, begitu
pula perasaan iba dan kasih sayang yang ada di dalam kalbu setiap ibu terhadap
anaknya, padahal suatu hal yang amat jarang sekali bahwa seorang ayah atau ibu
dapat menerima balasan atau keuntungan dari anaknya. Sementara itu bagaimana
hal-ihwal seorang bayi yang dengan sendirinya lalu dapat memperoleh pengertian
untuk menyusu dan cara menyusunya, sebentar setelah ia dilahirkan. Apakah
menurut pendapat Tuan hal itu semua terlaksana hanya sebagai hasil yang didapat
secara kebetulan?
Aristophanes: Tentunya bukan karena kebetulan.
Yah, saya baru mengerti sekarang dengan secara pasti bahwa di sana memang ada
petunjuk akan adanya penciptaan. Tetapi yang pasti ialah bahwa yang menciptakan
itu tentu bersifat sangat agung sekali, yang mencintai akan adanya segala yang
hidup. Namun masih ada yang membingungkan otak saya mengapa kita semua tidak
dapat melihat yang menciptakan itu?
Socrates: Kalau begitu kita sudah menemukan
titik yang sama yaitu mengakui adanya pencipta yang agung dan mencintai
kehidupan di alam semesta ini. Tentang persoalan mengapa kita tidak dapat
melihat pencipta itu, maka saya ingin mendapat jawaban Tuan, apakah Tuan merasa
mempunyai nyawa, sebab kalau Tuan tidak bernyawa, tentunya Tuan sudah mati.
Punyakah atau tidak?
Aristophanes: Ya, tentu saja saya punya.
Mengapa?
Socrates: Jika demikian sudah mudah
pemecahannya. Mengapa Tuan sendiri tidak dapat melihat nyawa yang menguasai
diri Tuan sendiri. Jadi kalau Tuan tidak pernah melihat nyawa Tuan, apakah ini
berarti kita boleh mengatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang timbul dari diri
Tuan itu adalah semata-mata disebabkan karena secara kebetulan semua tanpa ada
pemikiran sebelumnya?
Sampai di sini selesailah percakapan kedua
orang ahli filsafat itu, yang sungguh-sungguh berfaedah untuk diresapkan dan
direnungkan dalam-dalam. Maha Benar Allah swt. yang berfirman, “Dan setengah
daripada tanda-tanda (ayat-ayat) mengenai adanya Allah ialah malam dan siang,
serta matahari dan bulan. Janganlah kamu semua bersujud kepada matahari atau
kepada bulan. Tetapi bersujudlah kepada Allah yang Maha Menciptakan semuanya
itu, jika kamu semua benar-benar menyembah-Nya.” (Q.S. Fushshilat:37)
ijin copy admin , untuk tugas
ReplyDeletesyukron
jazakallahu khayran
syukron admin informasinya :)
ReplyDelete