Tuhanku, nyalakan api “keraguan” yang suci dalam dadaku,
agar semua “kepastian” yang telah ditanamkan orang lain
kepadaku terbakar habis.
namun, ketika debu-debunya telah bertebaran menghilang,
tersungginglah senyum kasih sayang di permukaan dua bibir
“fajar keyakinan” yang tak berbercak sedikitpun
(Ali Syariati, Makna Doa)
Perdebatan I
Penulis : “Karena kalian percaya bahwa Tuhan itu ada. Sekarang, dari mana
kalian bisa tahu bahwa Tuhan itu ada?”
Peserta : “Kami
mengetahui bahwa Tuhan itu ada, karena adanya alam ini. Tuhan kami lah yang
menciptakan alam ini. Karena mustahil alam ini ada begitu saja. Pastilah ada
yang menciptakannya, yakni Tuhan kami”
Penulis : “Apakah ketika kalian melihat alam ini, lantas kalian
mengatakan bahwa Tuhan itu ada?”
Peserta : “Ia benar…”
Penulis : “Artinya, adanya Pencipta yang kalian klaim sebagai Tuhan,
kalianlah yang memikirakan, setelah melihat alam?”
Peserta : “Ia benar demikian…”
Penulis : “Jika demikian, berarti Tuhan kalian itu adalah hasil dari
buatan pikiran kalian, karena setelah melihat alam, kalian berfikir bahwa Tuhan
lah yang menciptakan alam. Terus kenapa kalian mau menyembah yang kalian buat
sendiri dalam pikiran kalian. Dan apa bedanya dengan orang yang membuat patung,
lantas dia menyembahnya. Bukankah ini adalah sebuah kebodohan semata”
Merekapun terdiam
dengan kebingungan. Nampaknya mereka belum mengetahui betul kelemahan
argumentasi mereka.
Perdebatan ke-II Masih Berhubungan dengan Ciptaan dan Pencipta.
Peserta : “Bukti
adanya Tuhan, Karena adanya ciptaan. Karena yang namanya ciptaan itu mestilah
membutuhkan pencipta. Olehnya itu, karena alam ini ciptaan, pastilah ada
penciptanya”
Penulis : “Apa buktinya bahwa alam ini adalah ciptaan?“
Peserta : “Tentu
saja alam ini ciptaan, karena mustahil
dia ada begitu saja. Karena segala sesuatu yang ada pastilah ada yang
mengadakan, termasuk alam ini”
Penulis : “Apakah Tuhan kalian ada?“
Peserta : “Ia Tuhan kami ada …”
Penulis : “Kalau begitu, Tuhan kalian pun ciptaan. Karena kalian
mengatakan bahwa setiap yang ada itu
pastilah ada yang mengadakan. Dan karena Tuhan kalian ada, maka Tuhan kalian
pun ada yang mengadakan. Dan jika Tuhan kalian ada yang mengadakan berarti
Tuhan kalian bukan Tuhan (pencipta), melainkan ciptaan”
Peserta : “Tidak.., tidak seperti itu maksud kami“
Penulis : “Maksud kalian bagaimana?“
Peserta : “Maksud kami, setiap yang ada pastilah ada yang mengadakan,
kecuali Tuhan kami”
Penulis : “Atas dasar apa kalian mengecualikan Tuhan kalian?”
Peserta : “Tentu saja terjadi pengecualian bagi Tuhan kami, karena Tuhan
kami adalah pencipta. Dan segala sesuatu yang ada itu adalah ciptaan Tuhan
kami”
Penulis : “Apa buktinya bahwa Tuhan kalian pencipta?”
Peserta : “Ya.. , tentu saja karena adanya ciptaan (alam)“
Penulis : “Artinya, adanya Tuhan kalian (Pencipta) karena adanya ciptaan
(alam)?
Peserta : “Ia.., seperti itulah“
Penulis : “Jika seperti itu berarti, Tuhan kalian itu bukan pencipta.
Karena adanya Tuhan kalian di karenakan adanya ciptaan yakni alam. Dengan kata
lain alam ini lah yang menjadi Tuhan, karena alam lah yang mengadakan Tuhan
kalian sehingga Tuhan kalian dapat dikatakan ada. Hal ini sebagaimana yang
kalian katakan, yaitu adanya Tuhan kalian karena adanya ciptaan (alam)”
Peserta : “Ah .. siapa bilang, justru adanya pencipta, telah terbukti
karena adanya ciptaan“
Penulis : “Kalian lah yang bilang.., kalian mengatakan adanya pencipta
“karena” adanya ciptaan. Kalian harus ketahui, ketika kalian mengunakan “karena
adanya”, Pada kalimat adanya pencipta karena adanya ciptaan. Ini bermakna
adanya pencipta itu di karenakan atau di sebabkan adanya ciptaan. Dengan kata
lain ciptaan lah yang mengadakan pencipta sehingga pencipta itu ada. Dan ini
berarti ciptaan sebagai pencipta dan pencipta sebagai ciptaan. Karena sekiranya
tidak ada ciptaan, berdasarkan pernyataan kalian pencipta itu tidak ada.
Peserta : “Sepertinya anda belum memahami jawaban kami. Kami kan sudah
katakan bahwa dengan adanya alam sebagai ciptaan, telah membuktikan adanya
Tuhan sebagai pencipta”
Penulis : “Sesungguhnya, kalianlah yang tidak memahmi pertanyaan
saya. Sekarang begini saja, kalian
tinggal memilih. Apakah karena adanya alam sehingga Tuhan dapat ada (alam lebih
dahulu daripada Tuhan) atau kerena Tuhan lah sehingga alam ada (alam lebih
dahulu barulah Tuhan)?”
Peserta : “Yaa.. tentu saja karena adanya Tuhanlah sehingga alam ada
atau adanya penciptalah sehingga adanya ciptaan”
Penulis : “Apakah ini berarti bahwa ciptaan tidak layak sebagai sebab
adanya pencipta. Karena jika layak berarti ciptaanlah sebagai sebab adanya
pencipta, yang berdampak ciptaan sebagai pencipta dan pencipta sebagai ciptaan”
Peserta : “Ia…, tentu saja haruslah seperti itu“
Penulis : “Jika seperti ini adanya, maka layakkah kalian mengatakan bahwa
adanya alam (Ciptaan) sehingga Tuhan ada, yang berdampak bahwa alam ini lebih
dahulu ada dari pada Tuhan kalian”
Untuk kedua kalinya mereka kembali terdiam.
Perdebatan Ke-III
Penulis : “Kenapa bisa ..Ya .., kalian percaya pada Tuhan yang kalian
tidak bisa buktikan adanya. Apakah keyakinan kalian memang tidak terbukti?”
Peserta : “Tidak…, Tuhan ada. Karena kami sangat meyakininya. Dan karena
anda tidak meyakininya, makanya anda tidak pernah menerima tentang adanya Tuhan
kami. Berbeda dengan kami. Olehnya itu jika anda ingin tahu adanya Tuhan,
yakini dulu!
Penulis : “Jadi…,
Apakah kalian sudah mengetahuinya, setelah meyakininya?
Peserta : “Ya..,tentu saja kami telah mengetahuinya!”
Penulis : “Kalau begitu, jelaskan pengetahuan kalian itu?”
Peserta : “Tuhan kami tidak perlu dijelaskan dengan pengetahuan. Cukup
dengan keyakinan kami”
Penulis : “Artinya, kalian tidak tahu!”
Peserta : “Kenapa…., Kalau kami tidak tahu. Yang pentingkan keyakinan”
Penulis : ”Bagaimana kalian bisa menyakini sesuatu yang anda Tidak tahu
keberadaanya?”
Peserta : “Begini saja.., Yakinilah dulu. Nanti juga anda akan tahu
bahwa Tuhan itu ada”
Penulis : “Bagaimana mungkin
anda menyuruh meyakini sesuatu yang tidak ada”
Peserta : “Agar Tuhan itu ada, anda yakini terlebih dahulu..!”
Penulis : “Sungguh aneh keyakinan kalian!“
Peserta : “ Apa-nya yang aneh?
Penulis : “Ya.., tentu saja
aneh. Tadi kalian mengatakan bahwa adanya Tuhan kerena kita yakini. Jadi
sekiranya kalian tidak yakin, apakah Tuhan kalian masih ada?
Peserta : “Pernyataan anda
itu mustahil, karena kami selalu yakin akan adanya Tuhan”
Penulis : “Oke… Jika seperti
itu jawaban kalian. Sekarang saya tanya, apakah karena kalian yakin sehingga
Tuhan kalian ada? Sehingga adanya Tuhan kalian tergantung pada keyakinan
kalian. Atau adanya Tuhan kalian tidak tergantung pada keyakinan kalian?
Peserta : “Tuhan kami tidak tergantung pada keyakinan kami”
Penulis : “Kalau begitu, atas
dasar apa kalian menyuruh saya meyakini Tuhan dahulu yang nantinya
mengakibatkan Tuhan itu ada? Sementara adanya Tuhan kalian tidak tergantung
sama keyakinan”
Peserta ke-2 : Salah seorang peserta mengangkat bicara seraya membantah
argumentasi temannya sendiri, dan berkata, ”Tidak…, Tuhan kami ada karena kami
yakin dia ada!
Penulis : “Jika demikian,
Tuhan kalian tergantung sama keyakinan kalian. Sehingga, agar Tuhan kalian ada,
kalian harus yakin dulu. Atau agar Tuhan kalian tetap ada, kalian harus selalu
yakin!
Peserta ke-2 : “Yaa..
Kurang lebih seperti itulah!
Penulis : “Kalau begitu,
Tuhan kalian bukan Tuhan, karena masih membutuhkan keyakinan kalian agar dia
ada. Dan kalian lebih hebat dari Tuhan kalian, karena Tuhan masih membutuhkan
kalian. Kenapa bukan kalian saja yang jadi Tuhan! Toh juga kalian lebih hebat
dari Tuhan kalian”
Peserta : “Tetapi, kami harus
meyakini terlebih dahulu baru mengetahuinya“
Penulis : “Kalau begitu, keyakinan kalian tidak di dasari oleh
pengetahuan. Sementara syarat meyakini sesuatu, haruslah di awali dengan
pengetahuan. Karena mustahil meyakini sesuatu yang kita tidak ketahui. Dengan
kata lain, keyakinan kalian sesungguhnya tidak layak dikatakan keyakinan,
melainkan hanya ketidak-tahuan yang dibungkus dengan keyakinan”
Mereka kembali
kebingungan. Dan mencari dalil yang lebih kuat guna membuktikan kebenaran
keyakinan mereka.
Konon ada sebuah cerita tentang sebuah diskusi yang akan
diadakan oleh seorang tokoh Muslim dan sekelompok orang kafir. Mereka telah
saling sepakat untuk berjumpa pada suatu hari dan pada satu tempat tertentu.
Begitu hari dan waktu yang ditentukan tiba, orang-orang kafir segera berkumpul
di tempat yang sudah ditentukan itu. Mereka orang-orang kafir telah
berhari-hari menyiapkan diri untuk menghadapi dialog yang sudah tiba itu.
Mereka menunggu dengan perasaan berdebar-debar dan sedikit tegang. Namun,
perasaan itu tidak terobati karena yang mereka tunggu untuk dihujat tidak
kunjung datang. Lama nian mereka menunggu. Rupanya salah satu dari mereka sudah
tak tahan menunggu, dan ia pun berkata dengan kesalnya “Apakah ini merupakan
kebiasaan dari orang-orang kotor yang tak berakal itu. Yang biasa
membuang-buang waktu untuk tidur dan menangis? “Rupanya gerutu tadi memancing
marah orang yang duduk di dekat orang yang menggerutu. Ia pun berkata dengan
lantang; “Sungguh ini merupakan tipu daya. Rupanya orang yang selalu mengada-ngada
itu merasa tidak sanggup mempengaruhi kita, orang-orang berakal, yang tidak
seperti orang-orang lain yang kotor dan bodoh sebagaimana dia pengaruhi selama
ini.”
Rupanya kedua
orang itu betul-betul memancing kemarahan para hadirin yang memang sudah kesal.
Dan tentu saja sasarannya adalah sang tokoh muslim yang mereka tunggu-tunggu.
Benar saja, sebentar kemudian situasi dalam pendopo yang mereka pakai itu telah
dipenuhi kata-kata umpatan dan ejekan. Bahkan sebagian sudah bersiap-siap
meninggalkan ruangan karena sudah terlalu lama menunggu tapi sekoyong-koyong
umpatan dan keributan itu berhenti ketika mereka melihat sesosok tubuh
mendekati mereka dan memasuki ruang pendopo, tempat mereka berkumpul.
Tapi kesunyian itu
rupanya mirip kesunyian para pelomba lari yang sedang menunggu bunyi tembakan
yang hendak lari mendahului yang lainnya. Tanpa dikomando secara serempak
mereka berkata, “Hai pembohong…pembohong…” orang yang rambutnya sudah hampir
memutih semua, yang duduk dikursi depan, dari tadi memang tampak lebih sadar
dari yang lainnya. Rupanya ia adalah pemuka yang dihormati dikalangan
orang-orang kafir itu. Karena ia khawatir akan semakin menimbulkan hal-hal yang
tidak diinginkan, maka ia segera berdiri dan menenangkan para hadirin. Memang
tampak berwibawa sehingga orang-orang kembali senyap dan duduk di kursi
masing-masing. Si pemuka itu menoleh kepada orang yang baru datang itu – yang
memang orang yang mereka tunggu – setelah berhasil menertibkan kegaduhan di
pendopo.
Berkata si tua
tadi, “Hai orang muslim! Engkau bukan menghadapi orang-orang konyol semacammu.
Orang-orang yang tidak beradab dan berakal, serta tidak menghormati waktu.
Sungguh kami sangat sedih dan kesal menunggu kedatangan anda yang ternyata
telah membuang-buang waktu kami yang sangat berharga. Kami harap ajaran anda
yang satu ini jangan sekali-kali diterapkan ditengah-tengah kami. Sebab kami
adalah orang-orang yang menghormati waktu dalam hidup kami.”
Si muslim
menjawab, “Saudara-saudara sekalian, kami juga merasa bersedih dengan kejadian
ini. Kenapa harus terjadi. Keterlambatan dan tidak tepat janji adalah suatu
yang sangat dicela di dalam ajaran kami, yaitu Islam.”
Hampir serentak
dan dibarengi gelak tawa, para hadirin mencemooh, “Bohong, bohong….”
Rupanya pak tua
tadi agak naik pitam lalu dia nyeloteh; “bagaimana anda dapat mengatakan hal
itu, sedang yang demikian itu banyak dilakukan orang-orang muslim. Dan yang
sangat mengherankan adalah anda sendiri termasuk pelakunya.”
Perkataan disambut
gelak tawa para hadirin yang memang merasa berada di atas angin.
“Saudara-saudara (jawab si muslim), anda sekalian hanya dapat menjumpainya pada
amalan sebagian muslimin, bukan pada ajaran Islam. Mereka yang dengan sengaja
melakukan itu akan mendapat celaan dan dosa. Sungguh perbuatan mereka itu
disamping merugikan mereka sendiri juga merugikan agama mereka. Karena
orang-orang yang bukan muslim yang pendek penalarannya akan mengira bahwa itu
adalah salah satu ajaran Islam. Sehingga mereka mendapat kesempatan untuk
menghujat Islam. Tapi sayang mereka kurang jujur sehingga berusaha memasukkan
kedalam akal mereka apa-apa yang tidak masuk akal.
“Tapi bagaimana
anda dapat membela keterlambatan anda ini?” Dia berkata sambil menoleh kekanan
dan kekiri dan sambil menahan tawa. Si muslim menjawab : “Saudara-saudara,
sehubungan dengan keterlambatan kami, maka sesungguhnya kami pun tidak
menghendakinya. Namun apa boleh buat kenyataan telah menunjukkan hal lain. Kami
telah dihadapkan pada suatu kenyataan yang membuat kami terpaksa terlambat
hadir di pendopo ini. Kenyataan yang kami maksud adalah tidak adanya perahu
penyebrang yang dapat menyebrangkan kami dari pinggiran desa kami ke desa ini.
Sebab sebagaimana saudara ketahui juga bahwa desa kami dengan desa ini
dipisahkan oleh sungai yang cukup besar dan berbahaya. Nah, karena tidak ada
perahu peyebrang, maka kami menunggu di pinggir sungai sampai lama sekali.
Ehh…., tahu-tahu pohon besar yang ada disamping kami bergoyang keras. Kami
waktu itu menjauhkan diri, tetapi tetap memandangi pohon yang semakin keras
bergoyang itu. Kejadian aneh berikutnya pun terjadi. Yaitu pohon itu tumbang
dan terpotong-potong. Tak cukup sampai disitu. Pohon itu terpecah-pecah teratur
dan akhirnya menjadi lempengan-lempengan hingga satu sama lain menempel dengan
eratnya dan membentuk perahu kecil. Tentu saja bentuk itu mengingatkan kami
pada janji kami untuk bertemu dengan saudara-saudara di sini, maka kami
pergunakan perahu kecil itu untuk menyebrangi sungai besar itu dan sampai kami
di sini.”
Cerita simuslim
tadi membuat geer….para hadirin. Sampai-sampai ada yang terpingkal-pingkal.
Mereka merasa cerita si muslim itu adalah cerita edan-edanan. Orang yang tadi
berdiri merasa sangat tersinggung, merasa dipermainkan. Maka ia pun berdiri
lagi dan berkata dengan lantang : “Hai orang muslim, apakah kami datang dan
menunggu anda di sini hanya untuk mendengarkan pembelaanmu yang gila ini?”
“Gila?” tanya si
muslim.
“Lho, apa kamu
belum menyadari kegilaan ceritamu itu?” ia balas menanya.
“Aku belum tahu
apa yang anda maksud dengan cerita gilaku ini” si muslim menjawab. Orang yang
berdiri tadi sudah hilang kesabarannya, sambil berteriak ia berkata ;
“Hai orang kolot!
Apakah menyakini perahu yang jadi sendiri itu bukan suatu kegilaan? Apakah kamu
ingin mengajak kami gila sepertimu?”
Simuslim tidak
dengan segera menjawab sebab pendopo menjadi gaduh, ada yang mengumpat dan ada
yang tertawa terpingkal-pingkal. Setelah keadaan agak tenang, maka simuslim
memulai jurus pamungkasnya yang telah dipersiapkannya sejak semula.
“Saudara-saudara, anda menertawakan kami, mengumpat kami dan mengatakan bahwa
kami gila, hanya karena kami mengatakan bahwa ada perahu kecil yang jadi dengan
sendirinya. Nah, sekarang kami akan bertanya kepada anda sekalian. Kalau
mempercayai perahu kecil yang jadi dengan sendirinya adalah suatu kegilaan,
apakah mempercayai alam yang luas, yang besar dan teratur ini jadi dengan
sendirinya, tanpa Pencipta Yang Maha Pandai, bukan merupakan suatu kegilaan
pula? Bagi kami hal yang demikian ini lebih gila dan benar-benar perlu ditertawakan.”
Orang-orang yang
sudah mulai memahami arah pembicaraan si muslim tadi, mulai merasa bahwa selama
ini mereka berada dalam kesalahan yang sebenarnya mudah dilihat dan dikoreksi.
Dalam al-Quran dapat dijumpai pada surat al-Fushilat ayat 53, yang berbunyi :
“Akan kami
tunjukkan kepada mereka dalil-dalil yang ada pada segenap penjuru alam ini, dan
yang ada pada diri mereka sendiri, sampai jelas bagi mereka bahwa ia adalah
benar.”
Pembahasan
Ada beberapa Mazhab atau aliran pemikiran dalam membuktikan Kebenaran.
Sepengetahuan saya yang hina dan memiliki pengetahuan yang terbatas ini, ada
empat Mazhab berpikir yang dominan dalam membuktikan Kebenaran. Yaitu :
1. Idealisme
Mazhab ini terbagi atas dua versi;
Ø Idealisme
versi Berkley
Menurutnya bahwa “segala sesuatu yang ada di luar ide
kita tidak memiliki keberadaan.” ‘Idelah yang mengadakan atau
menciptakan realitas, kira-kira kurang lebih demikian singkatnya’. Jika
segala sesuatu yang ada di luar ide tidak memiliki keberadaan, maka pernyataan
bahwa “segala sesuatu yang ada di luar ide tidak memiliki keberadaan” itu
juga nafi atau naïf – tak bermakna dan tidak perlu dipikirkan– kecuali
pernyataan itu tidak ditujukan kepada diri di luar idenya. Berdasarkan
pernyataannya ‘Berkley menafikan keberadaan dirinya, karena keberadaanya itu
bukanlah sebuah ide atau gagasan belaka namun ia adalah realitas eksternal atau
nyata’. Cara berpikir seperti ini merupakan bias atau akar dari Shopisme
yang meyakini bahwa, “Hanya ketiadaanlah yang ada”. Jadi ADA sama dengan TIDAK
ADA. Kalau ‘yang ada hanyalah ketiadaan’ berarti ‘ketiadaan’ itu adalah
keberadaan karena dia ‘ADA’. Ini berarti “Pernyataannya sama dengan bukan
Pernyataan”, maka hancurlah seluruh bangunan dan matriks-matriks Ilmu
Pengetahuan, Agama dan Teknologi.
Ø Idealisme
versi Plato
Teori Plato ini dikenal dengan ‘Teori Pengingatan
Kembali’. Plato memahami bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia di
alam materi ini tak lebih dari pada proses Pengingatan Kembali
informasi-informasi yang telah dimiliki sebelumnya. Pandangan filsafatya itu di
dasarkan pada pengetahuannya terhadap diri manusia. Menurutnya manusia terdiri
atas dua unsur. Unsur pertama manusia adalah jiwa. Jiwa memiliki pengetahuan
yang kompleks dan komprehensif semasa ia berada di alam immaterial yang oleh
Plato disebut Archetypes. Alam dimana jiwa pernah hidup. Ia sempurna –
tidak memerlukan sesuatu selain dirinya, tidak rusak dan tidak busuk. Namun
ketika badan mengemuka atau tercipta maka jiwa bergabung dengan badan untuk
turun ke alam materi, lalu jiwa mengikuti hukum-hukum materi sehingga
menjadikan pengetahuann yang dimilikinya di alam archetypes hilang,
karena materi tidak sempurna. Gagasan Plato tersebut sangat lemah.
Penjelasannya tidak berdasar. Plato tidak dapat menjelaskan secara logis – rasional
alasan apa gerangan yang menjadikan jiwa bergabung dengan badan hingga turun
kealam materi yang mengakibatkan semua pengetahuan yang dimilkinya di alam
immaterial tersebut hilang? Bukankah jiwa telah sempurna? Kalau demikian
adanya, pendapat Plato pun bertentangan dengan fitrah manusia dimana dari tidak
sempurna menuju kesempurnaan. Dari tidak punya pengetahuan menjadi punya
pengetahuan. Murtadha Muthahari dengan tegas menyatakan (lihat buku FITRAH,
M. Muthahari) bahwa Ilmu Pengetahuan apa pun yang bertentangan dengan
fitrah manusia pasti salah. Karena Ilmu Pengetahuan hadir untuk menyempurnakan
nilai-nilai kemanusiaan, tidak menjadikan manusia tidak sempurna.
Berpikir ala Idealisme, sadar dan tidak sadar akan menyeret dan
menjerumuskan kita kepada salah satu bentuk alias cara Berpikir Salah
atau Logic Fallacy (Intellectual cul de sacs) yaitu Fallacy of Dramatic
Instance. Satu bentuk kesalahan berpikir yang bermula dari klaim subyektif
atau pembenaran untuk mempertahan argument yang terkesan dibuat-buat. Misal,
dengan serta merta kita meyakini bahwa Tuhan itu Pencipta. Lalu orang bertanya
: “Apa bukti bahwa Tuhan itu Pencipta?” “Karena adanya ciptaan yakni bumi”,
jawab kita. Tiba-tiba bumi dilabelisasi secara subyektif oleh kita sebagai
ciptaan. Bagaimana mungkin kita menyakini ciptaan itu sebenar-benarnya ciptaan
sementara penciptanya belum terbukti (baru akan dibuktikan). Inilah yang saya
maksud dengan klaim subyektif atau pembenaran.
2. Empirikal atau Eksperimentalis
Paham ini berpendapat bahwa pengalaman inderawilah satu-satunya
kriteria atas kebenaran. Tokoh dari paham ini adalah Francisco Bacon, Auguste
Comte, David Hume dan John Lock. Menurut mereka untuk mengetahui benar –
salahnya realitas maka kita harus memiliki pengalaman atasnya. Paham ini mendasarkan
pengetahuannya pada hal-hal yang fenomenaistik melalui metode eksperimen. Hanya
yang dapat di inderailah sesuatu itu dapat dikatakan benar, kira-kira demikian
maksudnya. Jika demikian adanya, maka pertama, paham ini tidak rasional
apalagi logis. Sementara ia mendasarkan kebenarannya atau salah satu syarat
dari empiris sendiri adalah rasional dan logis. Kalau ia rasional dan logis
berarti ia tidak dapat diinderai. Karena rasional dan logis itu adalah dua hal
yang tidak dapat ditangkap oleh indera. Rumusnya : ‘Segala sesuatu yang
bersifat empiris pasti rasional dan logis, sebaliknya yang bersifat rasional
dan logis belum tentu empiris.’ Misalnya pernyataan kita bahwa : ‘Segi
tiga bersisi empat itu tidak ada’. Ketiadaan segitiga bersisi empat itu
rasional dan logis tapi tidak empiris. Kedua, indera sangat terbatas dan
berubah-ubah tergantung kaca mata yang digunakannya. Prinsip sederhananya
adalah : “Jika dan hanya jika.” Jika sebab konsepsi kita beda dan hanya
jika realitas yang kita konsepsikan sama maupun beda maka hasilnya pasti beda.
Menurut kaca mata fisika klasik bahwa materi yang padat ini tak lebih dari pada
partikel-partikel kecil yang melakukan ikatan karena adanya daya tarik kuat
atau inner force. Sedang, Fisika kuantum hadir dengan penjelasannya yang jauh
lebih akurat, bahwa materi yang kita konsepsikan malar dan kontinyu ini adalah
gelombang. Apa yang dikonsepsikan fisika klasik dengan fisika kuantum objeknya
sama, namun hasilnya berbeda karena sebab konsepsi yang digunakannya berbeda
meski keduanya benar sebagaimana yang dikonsepsikannya. Ketiga, jika
kita memasukkan pena ke dalam gelas yang berisi air maka mata melihat pena itu
seolah-olah patah namun menurut indera peraba pena itu tidak patah. Ternyata di
dalam indera sendiri terjadi kontrsdiksi interminis – antar indera yang satu
dengan indera yang lain saling bertentangan. Lalu indera yang mana yang akan
kita gunakan? Bukankah kita harus menggunakan indera? (lihat cerita 5 orang
buta yang masuk ke kandang gajah). Ke empat, apabila pengalaman yang
menjadi satu-satunya criteria dasar dalam menilai, maka konsekuensi logis dan
sebuah kemestian harus ada pengalaman pertama yang dengannya kita dapat menilai
pengalaman selanjutnya. Tapi, kita juga harus menilai kebenaran pengalaman
pertama tersebut. Karena tidak menutup kemungkinan Pengalaman Pertama itu juga
salah. Nah, dengan demikian kita harus menilainya. Lalu dengan apa kita
menilainya? Apakah dengan menggunakan pengalaman atau bukan pengalaman? Karena
ia hanya memberi dua alternative itu. Selain pengalaman, bukan pengalaman. Bila
bukan pengalaman sebagai criteria dalam menilai, maka ia menggugurkan pernyataannya
sendiri bahwa dalam menilai kita harus menggunakan pengalaman. Namun jika
criteria yang digunakan adalah pengalaman, ia pun terjebak pada pilihannya. Dan
ia pun salah. Karena jika Pengalaman Pertama itu dinilai dengan menggunakan
pengalaman, ini akan menjadikan pengalaman yang kita jadikan criteria dasar itu
menempati posisi Pengalaman Pertama sedang pengalaman pertama tadi menjadi pengalaman
kedua. Bukankah ia – pengalaman yang kita gunakan dalam menilai Pengalaman
Pertama adalah sebagai criteria dasar? Itu berarti pula ia
(pengalaman yang kita gunakan dalam menilai Pengalaman Pertama) adalah yang
pertama dari Pengalaman Pertama.
3. Skriptualisme
Berbeda dengan pendapat kedua aliran diatas, aliran pemikiran
ini menjadikan kitab atau doktrin tekstual sebagai otoritas tunggal dalam
menilai kebenaran realitas. Apa yang berada atau dikatakan kitab itulah yang
benar. Lalu apa buktinya bahwa kitab itu kitab dan apa pula buktinya bahwa apa
yang dikatakan kitab itu benar? dan kitab agama apa pula yang akan kita jadikan
rujukan kebenaran? dan bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kitab?
Karena kitab masih akan dibuktikan kebenarannya, maka ia tidak dapat dijadikan
rujukan untuk menilai kebenaran. Bagaimana mungkin membuktikan sesuatu dengan
sesuatu yang masih akan dibuktikan kebenarannya? Berpikir skriptualis akan
mengantarkan kita pada Fallacy of Circular Reasoning (cara berpikir yang
berputar-putar) suatu gelar panjang dan kurang enak didengar. Selain
itu, kitab bersifat partikular dan Kebenaran bersifat universal. Jadi mana bisa
membuktikan sesuatu yang sifatnya universal dengan sesuatu yang bersifat
partikular? Kitab hanya milik segelintir orang saja. Kitab disamping bersifat
partikular juga bersifat relative.
Akal Membuktikan Keberadaan Tuhan?
Dengan bermodalkan akal dan kriteria kebenaran yang telah
disepakati bersama, maka, pembahasan akan masuk pada pokok permasalah yakni,
apakah Tuhan memiliki realitas ( baca pula: apakah Tuhan memiliki
keberadaan di luar pahaman)? Pembahasan di mulai dengan membahas realitas itu
sendiri.
Ketahuilah, bahwa realitas yang ditangkap dalam pahaman (ide),
terdiri atas dua. Pertama, dari segi ‘keberadaan’
realitas tersebut, yang dalam bahasa Indonesia disebut “ada”, yang dalam bahasa
Inggris disebut “eksistensi”, dalam bahasa Arab disebut dengan “wujud”. Jadi
ada-nya, eksistensi-nya, dan wujud-nya sebuah realitas itu sama saja. Kedua,
dari segi keapaan realitas tersebut, yang dalam bahasa Indonesia di sebut
apa-nya, dalam bahasa Inggris di kenal dengan istilah esensi-nya dan dalam
bahasa Arab di sebut mahiya-nya. Jadi Apanya, esensinya, mahiyanya, semuanya
sama saja. Adapun untuk membuktikan kebenaran pernyataan bahwa setiap realitas
yang ditangkap dalam pahaman (ide)
terdiri atas dua, anda tinggal mengajukan dua pertanyaan. Yakni, pertanyaan
eksistensi atau keberadaan realitas. Misalnya, adakah realitasnya? Dan pertanyaan
esensi atau ke-apaan realitas. Misalnya, apa realitas itu?
Sebagai contoh, kita ambil buku yang sedang anda baca. “Buku”
yang anda baca adalah salah satu contoh dari sebuah realitas. Dua hal yang di tangkap dalam pahaman
dibuktikan dengan mengajukan pertanyaan esensi dan eksistensi. Apa ini?
Jawabanya adalah “buku”. Adakah realitasnya? Jawabannya “Ada”. Jadi dari
realitas tersebut ada dua hal yang ditangkap (baca pula: hadir) dalam pahaman.
Jika dari segi esensi, maka yang ditangkap adalah buku. Dan jika dari segi
eksistensi, maka jawabannya adalah “ada”. Hal ini pun berlaku pada semua
realitas. Entah itu pohon, rumah, kursi, dan sebagainya. Adapun skemanya kurang
lebih sebagai berikut:
Skema
II
Mustahil Ada-nya : Dari
segi adanya realitas yang hadir dalam pahaman, meliputi juga hal-hal yang
mustahil “ada-nya” di luar pahaman atau non eksistensi. Misalnya;
1. Segi tiga yang bersisi empat.
2. Sebahagian yang lebih besar dari
keseluruhan.
3. Api memancarkan dingin dan es memancarkan
panas.
4.
Mungkin Ada-nya : Dari
segi ada-nya realitas, yang hadir dalam pahaman meliputi juga hal-hal yang
mungkin adanya di luar pahaman. Misalnya:
1. Manusia pergi ke planet pluto.
2. Manusia berkaki tujuh.
3. Manusia makan batu dan api.
4.
Pasti Ada-nya : Dari
segi ada-nya segala realitas yang hadir dalam pahaman, meliputi juga hal-hal
yang bersifat pasti ada-nya di luar pahaman. Misalnya, kepastian ada-nya
matahari, kepastian ada-nya alam, kepastian ada-nya manusia, dan kepastian
ada-nya segala sesuatu yang pasti ada-nya. Termasuk kepastian Ada-nya “ADA”.
Dan ternyata, segala sesuatu yang pasti adanya di luar pahaman, yang di tangkap
dalam pahaman terdiri atas dua; Pertama, pasti ada-nya karena diri sendiri.
Kedua pasti ada-nya karena yang lain. Pasti ada-nya karena diri sendiri yaitu,
“ADA”. Dan pasti ada-nya karena yang lain yaitu, Alam/Manusia.
PASTI ADA-NYA KARNA DIRI SENDIRI = ‘ADA’
Betulkah “ADA” adalah yang pasti adanya karena diri sendiri?
Jika betul, apa buktinya? Kami akan menjawabnya dengan memberikan beberapa
argumentasi sebagai berikut;
1. Sekiranya “ADA” ada karena yang lain,
berarti ‘Dia’ di ada-kan. Dan jika ‘Dia’ di ada-kan, berarti sebelumnya ‘Dia’
tidak ada. Dan pernyataan ini terbukti salah. Karena apakah “ADA” sebelumnya
tidak ada? Jika sebelumnya “ADA” tidak
ada, berarti ‘Dia’ bukan “ADA”. Melainkan ketiadaan. Dan anda harus tahu hanya
sesuatu yang tidak ada-lah yang di ada-kan. Tetapi jika sesuatu itu telah ada,
dengan alasan apa lagi sehingga ‘Dia’ ingin di ada-kan. Bukankah ‘Dia’ telah
ada. Bahkan ‘Dia’-lah “ADA” itu sendiri!
2. Pernyataan “ADA” di adakan itu pun mustahil.
Karena apakah ada yang mengadakan “ADA”? Jawabanya ada dua kemungkinan :
Pertama; “Tidak ADA”. Jika jawaban ini yang kita ambil berarti, betul lah bahwa
“ADA” itu tidak ada yang mengadakan. Kemungkinan Kedua ; “ADA”. Jika kemungkinan
kedua yang kita ambil bahwa ADA yang mengadakan “ADA” maka pertanyaannya,
Apakah ADA yang mengada-kan “ADA” itu identik? Jika identik berarti satu. Dan
jika tidak identik berarti ADA yang mengadakan “ADA” itu mestilah Tidak ADA.
Dan Jika kita memilih identik berarti satu. Dan jika satu, berarti ADA yang
mengadakan “ADA” itu Adalah “ADA”
(dirinya). Dengan kata lain “ADA” itu ada karena dirinya sendiri. Atau ‘Dia’
ada bukan karena yang lain.
Dari penjelasan singkat di atas, terbuktilah bahwa yang pasti
adanya karena diri sendiri = “ADA”.
PASTI ADANYA KARENA YANG LAIN = ALAM/MANUSIA
Pertanyaan selanjutnya, kenapa alam/manusia diposisikan pasti
ada-nya karena yang lain? Alam/manusia diposisikan pasti adanya karena yang
lain, karena jika alam dan manusia berada pada posisi pasti ada-nya karena diri
sendiri, akan mengakibatkan yang pasti ada-nya karena diri sendiri itu menjadi
lebih dari satu. Yakni “ADA” dan Alam/ Manusia. Dan jika pasti ada-nya karena
diri sendiri lebih dari satu, maka keberadaan mereka satu sama lain saling
membatasi. Dan mengakibatkan keberadaan mereka terbatas. Sementara kita tahu
bahwa yang terbatas pastilah membutuhkan pembatas dan jika mereka membutuhkan
pembatas berarti mereka bersebab yakni batasanya. Dan sesuatu yang bersebab
pastilah memiliki awal dan akhir. Dan jika mereka memiliki awal, berarti
sebelum awal mereka tidak ada. Dan jika mereka tadinya tidak ada dan menjadi
ada, berarti mereka di ada-kan. Sementara kita tahu, tidak ada yang mengadakan
“ADA”. Dan jika “ADA” pasti adanya kerena diri sendiri, sementara yang pasti
adanya karena diri sendiri itu mustahil lebih dari satu, berarti manusia/alam
mestilah di terposisikan ada karena yang lain.
ALAM DAN MANUSIA DI-ADA-KAN OLEH ADA
Alam dan manusia di ada-kan oleh “ADA”, karena adanya “ADA”-lah
sehingga alam dan manusia menjadi ada. Dan sekiranya tidak ada “ADA” maka alam
dan manusia bahkan segala sesuatu akan kehilangan keberadaan (Tidak Ada).
Sebagai bukti, kita akan mengajukan pertanyaan eksistensi pada alam/manusia.
Apakah alam/manusia bisa dikatakan ada, jika tidak ada “ADA”? Ataukah dapatkah
alam/manusia dapat ada, jika alam/manusia tidak ada (tidak punya keberadaan)?
Jawabannya hanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, “bisa”. Dalam artian
meskipun alam/manusia tidak punya keberadaan (tidak ada), dapat juga dikatakan
ada. Jawaban ini terbukti salah, karena jika alam/manusia meskipun tidak ada,
tetapi tetap di katakan ada, berarti ada dan tidak ada akan menjadi identik.
Dan jika ada dan tidak ada menjadi identik, kita tidak bisa menilai yang mana
ada dan yang mana tidak ada. Dan berimplikasi akan menghancurkan semua
keberadaan. Karena bukankah keberadaan segala sesuatu = ketiadaan segala
sesuatu. Kemungkinan kedua, “tidak bisa”. Dalam artian alam/manusia hanya dapat
dikatakan ada, jika ada-nya “ADA”. Artinya, alam/manusia agar dia ada pastilah
membutuhkan “ADA”. Dan kemungkinan ini terbukti benar, karena jika tidak “ADA”,
maka segala sesuatu akan kehilangan keberadaan (tidak ada). Sehingga tidak ada
sesuatu pun yang dapat ada jika tidak ada “ADA”. Hal ini berlaku pada segala
sesuatu yang ada, baik di alam pikiran, alam bahasa, ataupun alam
realitas.
Kebutuhan segala sesuatu akan “ADA” ini begitu universalnya
sehingga kita tidak dapat menolaknya. Bahkan untuk menolaknya-pun kita
membutuhkan “ADA” agar penolakan itu menjadi ada. Olehnya itu, kebutuhan segala
sesuatu pada “ADA” itu bersifat terus menerus, selalu dan setiap saat.
Sebagai contoh pada diri anda, bahwa anda senantiasa
membutuhkan “ADA”. Misalnya ketika anda ingin membaca buku. Apakah anda bisa
membaca buku, jika “ADA”-nya keinginan anda untuk membaca buku, itu tidak ada?
Dan ketika membaca pun, dapatkah anda melihat tulisan-tulisan tersebut jika
keber-“ADA”-an yang melihat dan yang dilihat tidak ada? Dan dapatkah anda
bernafas jika keber-“ADA”-an nafas dan yang dinafasi, itu tidak ada. Bahkan
dapatkah anda hidup jika keber-“ADA”-an kehidupan anda, itu tidak ada? Dan
muaranya adalah, dapatkah anda ADA jika keberadaan ADA-nya anda, itu tidak ada?
Berdasarkan penjelasan di atas, dapatlah kiranya anda sadar dan
mengetahui, betapa karena ada-nya “ADA” kita dapat ada. Dan kita senantiasa
membutuhkan “ADA” agar tetap meng -ADA. Anda bisa bayangkan jika kita tidak di
berikan keber-ADA-an oleh “ADA” yang mengakibatkan kita tidak ada. Apakah kita
dapat di sebut, di bicarakan, dipikirkan, dianggap, sementara kita tidak ADA.
Adakah orang yang ingin membicarakan, memikirkan, menganggap sesuatu yang tidak
ada? Betapa tidak berartinya diri kita! Olehnya itu, sebagaimana layaknya jika
kita di berikan sesuatu, adalah sebuah kemestian jika kita berterima kasih
kepada sang pemberi sesuatu tersebut. Dan ini sangat logis, karena anda ditanya
bahwa yang mana lebih logis: “Apakah ketika diberi dan anda berterimakasih”.
Atau “anda diberi dan tidak berterimaksih”. Adapun silogismenya:
I. Manusia/alam diberikan keberadaan oleh
“ADA”.
II. Sesuatu yang diberi logisnya berterima kasih kepada si pemberi.
Kesimpulan : Manusia/alam logisnya berterima kasih kepada
“ADA”.
Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan, jika manusia ingin
berterima kasih kepada “ADA”. Apakah mengunakan cara (Manusia) atau cara “ADA”?
Di sini ada dua pilihan. Jika memilih cara manusia, kemungkinan ini kurang
logis dan lemah. Kurang logis dan lemah karena masih memungkinkan adanya
kesalahan dalam melakukan cara berterima kasih. Bisa jadi apa yang manusia
anggap berterima kasih, malah sebuah penghinaan di hadapan “ADA”. Sebagai
analogi, jika orang Indonesia ingin berterimah kasih atau memuji orang Iran
maka dia tidak bisa menggunakan cara berterimah kasih dan memuji ala Indonesia.
Dengan memberikan ibu jari yang menghadap ke atas, karena bagi orang Iran cara
tersebut adalah sebuah penghinaan. Jadi haruslah ia mengunakan cara berterimah
kasih atau memuji ala Iran. Yakni, memberikan jempol dengan menghadap kebawah.
Jadi kemungkinan yang logis yaitu kita harus mengunakan cara “ADA”. Karena
hanya ada dua cara yang kita pilih, dan pilihan pertama telah gugur, berarti
tinggal pilihan kedua! Cara seperti kedua lah yang menjamin kesempurnaan cara
berterimah kasih─sebagaimana maklum.
Berdasarkan argument di atas berarti di sini manusia dituntut
untuk sempurna dalam berterimakasih, yang persis seperti diinginkan “ADA”. Jadi
ketika kita berterimah kasih haruslah mengunakan cara “ADA”. Dan karena kita
harus berterimah kasih dengan cara “ADA”, maka sebuah kemestian atau
konsekwensi logisnya, “ADA” harus memberikan cara berterimakasih. Adapun
silogismenya:
I. Manusia mesti berterimakasih kepada “ADA”
II. Cara berterimakasih mestilah sebagaimana
yang diinginkan oleh ADA
Kesimpulan : “ADA” harus menurunkan atau mengajarkan cara
berterimakasih sebagaimana yang diinginkan-Nya.
Dari penjelasan yang agak panjang tentang “ADA”, kesimpulan
pertama yang kita dapat petik, bahwa “ADA” mesti menurunkan cara berterimah
kasih yang benar. Tetapi sekiranya “ADA” hanya menurunkan cara berterimah kasih
saja, maka ini pun masih memungkinkan terjadinya kekeliruan dalam berterimah
kasih nantinya! Sebagai analogi lagi, sebuah produsen mobil Jepang, ketika
mengirim mobil untuk di gunakan di Indonesia, prudusen tersebut tidak mungkin
hanya memberikan petunjuk penggunakan mobil tersebut saja, karena jika hanya
berbekal petunjuk atau cara mengunakan mobil saja, lantas kita sudah berani
mengendarai mobil tersebut, ini masih memungkinkan terjadinya kesalahan dalam
mengunakan mobil tersebut. Minimal, menabrakkan mobil tersebut. Hal ini dapat
terjadi dikarenakan keterbatasan dalam memahami petujuk yang diberikan oleh
prudusen dalam hal mengunakan mobil. Olehnya itu, sebagai produsen mobil yang
pintar, selain memberikan cara pengunaan mobil dengan benar. Ia juga harus
mengirimkan sebuah tenaga ahli untuk mengajarkan cara mengunakan mobil tersebut
dengan baik. Yang tentunya tenaga ahli ini sudah mengetahui secara sempurna
cara mengunakan mobil dengan baik. Sehingga memustahilkan adanya kesalahan.
Demikian pun hal-nya dengan “ADA”. Untuk menjamin tidak terjadinya kesalahan
dalam berterimah kasih, haruslah “ADA” mengirim pula semacam utusan (baca pula:
guru) yang mempraktekkan atau mengajarkan manusia cara berterimah kasih yang
benar. Dan melalui orang atau guru ini lah manusia dapat mengetahui cara
berterimah kasih tersebut.
Jadi kesimpulan kedua yang kita dapat petik dari “ADA”, yakni
“ADA” haruslah mengutus seorang guru yang sempurna guna menjamin kesempurnaan
cara berterima kasih. Adapun silogismenya sebagai berikut:
I. “ADA” memberikan cara berterima kasih
sebagaimana yang di inginkan-Nya.
II. Untuk menjamin kesempurnaan cara
berterimakasi sebagaimana yang diinginkan mestilah ada pembimbing (guru).
Kesimpulan : “ADA” mestilah mengutus pembimbing untuk menjamin
kesempurnaan cara terimakasih.
Sejauh ini akal telah membuktikan bahwa ”ADA” sebagai tempat
berterimah kasih. Dan untuk berterimah kasih “ADA” harus menurunkan cara
berterimah kasih dan seorang guru yang menyampaikan sekaligus mengajarkan cara
berterimah kasih tersebut. Dan
berdasarkan akal pula, sebelum manusia mengetahui apa dan bagaimana cara
berterimah kasih itu? Dan siapa guru itu? Manusia harus mengetahui terlebih
dahulu siapa “ADA” itu, yang telah menurunkan cara berterimah kasih, dan
seorang guru yang membimbing manusia nantinya. Olehnya itu, pembahasan ini
mestilah kembali kepada pengenalan “ADA”.
“Setiap akibat mestilah lahir dari sebabnya
Apakah ini berarti dengan mengetahui akibat
kita telah mengetahui sebabnya?
Tetapi dari mana anda
tahu bahwa akibat ini lahir dari sebabnya.
Atau dari mana ada tahu bahwa akibat ini adalah akibat.
Sementara sebabnya pun anda belum mengetahuinya?
Olehnya itu saudaraku ketahuilah sebab itu
yang dengannya engkau
mengetahui akibatnya”
Untuk memudahkan, memahami dan sekaligus menguatkan argumentasi
ini, ada beberapa pengantar tentang prinsip dan sifat-sifat “ADA”, yang
dengan-nya kita dapat membahasnya. Jadi harus diidentifikasi terlebih dahulu
ciri-ciri “ADA” tampa membatasinya.
Dalam kebenaran prinsip tersebut anda bisa saja punya pilihan
lain sehingga tidak setuju dengan pembahsan ini. Tetapi ketidak-setujuan anda
bukan berarti mempengaruhi kebenaran argument tersebut. Dan jika anda setuju
anda bisa melanjutkan membaca buku ini. Adapun prinsip-prinsipnya sebagai
berikut;
ADA sama dengan ADA
ADA tidak sama dengan – ADA
ADA mustahil menjadi – ADA
ADA tidak bercampur dengan –ADA
Hanya ‘ADA’lah yang Ada.
1 ADA” Itu Tunggal (112 :1-4)
Peryataan bahwa ada itu tunggal terbukti benar, karena
“ADA”-nya segala sesuatu dari segi
“ADA-nya” terbukti tunggal. Sebagai contoh;
rumah, pohon, kursi dan segala sesuatu dari segi ADA-nya (eksistensi)
semuanya tunggal yakni “ADA”. Yang membedakan mereka satu sama lain yakni dari
segi keapaannya (esensi). Kebenaran hal ini dapat dibuktikan dengan mengajukan
pertanyaan eksistensi dan esensi.
Pertanyaan “eksistensi” : Adakah realitas rumah, pohon, kursi, dan
segala sesuatu? Jawabannya hanya satu. Yakni, “ADA”. Karena hal ini pun berlaku
bagi segala sesuatu. Jadi ada-nya matahari, bintang, bulan, manusia, buku,
hewan dan sebagainya, adalah tunggal yakni “ADA”.
Pertanyaan “esensi” : Apakah itu? Jawaban-nya akan banyak, rumah,
pohon, kursi, dan banyak lagi. Jadi yang membuat banyaknya sesuatu adalah
ketika dilihat dari segi esensinya. Bukan dari segi ADA-nya (eksistensinya).
Contoh lain: Bayangkan jika ada sesuatu, sebutlah X. Dan sesuatu yang lain,
sebutlah Y. Jika X ada, keadaanya akan sama persis jika Y ada. Artinya
keber-ada-an X identik dengan keber-ada-an Y. Yakni sama-sama ada.
Pernyataan bahwa “ADA”
tidak tunggal pun mustahil. Karena jika ADA itu lebih dari satu. Maka, timbul
pertanyaan. Apakah ADA yang pertama itu sama dengan yang kedua. jika sama
berarti satu. Dan jika berbeda maka ADA yang kedua itu mestilah TIDAK ADA. Dan
ini pun berlaku bagi ADA yang ketiga, ke empat dan seterusnya.
Bukti lain, apakah ADA selain “ADA”? Jawaban-nya hanya dua
Jawaban, pertama; ADA. Jika jawaban ini diambil, timbul pertanya-an. Apakah ADA
sebagai ADA yang kedua itu sama dengan “ADA” itu sendiri. Jika sama berarti
satu (identik). Dan jika beda mestilah ADA yang kedua itu TIDAK ADA. Jawaban
kedua; TIDAK ADA. Jawaban inilah yang benar. Karena bukankah selain “ADA”
adalah “KETIDAAN”.
2 “ADA” Itu Tidak Bersebab (112 : 1-4)
Pertama, jika “ADA” bersebab berarti dia bukan ada karena diri
sendiri. Sementara kita telah membuktikan bahwa “ADA” ada karena diri sendiri.
Jadi pernyataan “ADA” itu bersebab
mustahil.
Kedua, Jika “ADA” bersebab, berarti “ADA” diada-kan. Dan jika
“ADA” di adakan, berarti sebelumnya Tidak ada. Dan ini terbukti mustahil.
Karena “ADA” selalu ADA dan mustahil menjadi sama dengan TIDAK ADA.
3 “ADA” Itu Tidak Tersusun (112 : 1-4)
Pertama : Sesuatu yang tersusun
mesti lebih dari satu. Misalnya dua buah kursi yang tersusun. Mustahil menyusun
sesuatu yang tunggal. Tunggal dalam artian hakiki. Dan karena “ADA” telah
dibuktikan Tunggal, maka “ADA” mustahil tersusun. Lagi pula makna dari kata
tersusun pun bermakna suatu yang jamak. Minimal sesuatu yang terdiri atas
beberapa bagian. Sementara “ADA” tidak jamak (tunggal).
Kedua : Sesuatu yang tersusun
pastilah membutuhkan penyusun. Mustahil sesuatu itu tesusun dengan sendirinya
(kebetulan), sebagaimana maklum bahwa kebetulan adalah sebuah ketiadaan. Dan
jika ‘Dia’ membutuhkan penyusun, berarti ‘Dia’ bersebab. Dan ini terbukti
mustahil, sebagaimana yang telah kita buktikan bahwa “ADA” tidak bersebab.
0 komentar:
Post a Comment