Posted by Unknown | File under :


Sebelum kita membahas apa itu ”pernikahan audiovisual” terlebih dahulu apa itu nikah syarat-ayarat nikah, samapai rukun pernikahan dan yamg berkaitan dengannya. Secara etimologi nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu nakaha yang artinya menggabungkan, mengumpulkan, atau menjodohkan adapuka mengartikan perjanjian. Sedangkan secara terminologi pernikahan menurut Abu Hnifah adalah: aqad yangb dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja.[1]

Menurut Drs. H. M. Suparta, MA, bahwa pernikaha atau perkawinan aialah ” ikatan lahir dan batin antara seorang peria dan wanita dalam sebuah rumah tangga, berdasarkan kepada tuntunan agama”. Ada juga yang mengartikan ”suatu perjajian/aqad (ija qabul) antara seorang seoranga laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniayah sebagaimana suami istri yang sah mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syariat islam.[2]
Selain itu juga nikah diartikan sebagai bersetubuh. Menururt syarat yaitu suatu aqad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menikmbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Menurut pengertian sebagaimana fukaha perkawinan ialah yangArtinya: ”Aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafaz nikah atai ziwaj atau yang semakna keduanya”[3]
Pengertian ini dibuat hanya melihat dari suatu segi saja aialah kebolehan hukum, dalam hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Tegasnya, hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup dalam berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Allah SWT.
Dalam istilah perkawinan kita kenal ta’rif, yaitu aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang diantaranya bukan muhrim. Dan masi banyak istilah perkawinan dintaranya meminang atau melamar.
Selanjutanya nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurnah, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehisupan rumah tangga dan turunan.tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum yang lain. Serta perkenalan itu akan menjadi jalan buat menyampaikan kepada bertolong-tolonganantara satu dengan yang lain.
Sebenarnya pertalian nikah adalah petalian yang seteguh-teguhnyadalam hidup dankehidupan manusia, bukan saja antara suami-istri dan turunan bahkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari sebab baik pergaulan antara si istri dengan suaminya, kasih-mengasihi , dan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihak. Sehingga mereka menjadi dari satu segala urusan bertolong-tolongan.
Dalam pada itu faedah yang terbesar dalam perkawinan ialah, untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari pada kebinasaan. Sebab seorang perempuan kalau sudah menikahmaka nafkahnya (belanjanya) jadi wajib atas tanggungan suaminya. perkawinan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu, sebab kalau tidak dengan nikah tentulah anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya.
  1. Dasar hukum nikah
  2. Pada dasrnya pernikahan itu diperintahkan atau dianjurkan oleh syara’ sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Alqur’an surah An-Nisa ayat 3 Allah berfirman.[4]


Artinya : ”Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, empat, kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka kawinlah seorang saja.”
Adapun hukum nikah sesuai dengan ayat diatas adalah dibagi atas beberapa bagian. Yaitu:
  1. Jaiz (dibolehkan), ini asal hukumnya
  2. Sunnat, bagi orang yang berkehendak serta cukup belanjanya (nafkah dan lain-lainnya)
  3. Wajib, bagi orang yang mempunyai dan takut akan tergoda akan kejehatan.
  4. Makruh, terhadap orang yang tidak mampu memberi nafkah
  5. Haram kepada orang yang berniat akan menyakiti atas perempuan yang akan nikahinya.
Kalau pelaksana perkawinan itu merupakan pelaksanaan hukumm agama, maka perlulah diingat bahwa dalam melaksanakan perkawinan itu, bahwa agama telah menentukan unsur-unsurnya menurut istilah hukumnya disebut rukun-rukun dan masing-masing rukun memerlukan syarat-syarat sahnya.
  1. Rukun Perkawinan
Adapun rukun perkawinan yaitu:
  1. Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yakni mempelai laki-laki dn perempuan, (ijab qabul)
  2. Ada wali
  3. Adanya dua orang saksi
  4. Dilakukan dengan shighat tertentu.
  1. Syarat-syarat ijab qabul[5]
perkawinan dilakukan dengan dengan ijab qabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan ’akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisa sah perkawinan dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedang qabul dilakuakn oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
Menurut pendirian hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai lelaki atau wakilnya dan qabul dari pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah balig dan berakal, dan bolah sebaliknya. Nah bagaimana jika perempuan dikawinkan oleh wali hakim, sedang walinya mengawinkan dengan lelaki lain? Ini sebuah permasalahan dalam perkawinan. Apabila dapat diketahui wkatunya, maka yang lebuh dahulu itulah yang sah! Dan apabila bersamaan waktunya, atau tidak diketahuinya nama yang lebih dahulu, maka yang dianggap sah adalah perkawinan yang diakukan oleh walinya sendiri.
Ijab dan kabul merupakan syarat perkawinan
Ijab kabul merupakan syarat perkawinan, ijab qabul ini dilakuakn dalan uatu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan qabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan qabul asal dalam masih didalam satu majelis dan tida hal-hal yang menujukan salah satu pihak berpaling dari maksud akad itu. Dan dalam akad nikah itu tidak disyaratakan jarus mendahului sala satu pihak. Jadi emdahulukan pihak laki-laki atau pihak perempuan itu sama saja (sah)
Lafaz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafaz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin nikah. Adapun contoh kalimat akad nikah adalah: ”aku kawinkan engkau dengan..... binti.... dengan mas kawin dua ribu rupiah”[6]
Begitu pula sebaliknya dari pihak perempuan juga mengatakan kalimat shighat menjawab dari pertanyaan diatas, baik berbahasa arab maupun bahasa lainnya tetap sah karena dibenarkan oleh ulama.
Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Wali hendaklah seorang lelaki, muslim, balig, berakal dan adil, artinya tidak fasik. Karena itu perkawinan tanpa wali dianggap tidak sah. Hal ini berlandaskan hadis Nabi SAW.

Artinya: tidaka ada perkawinan tanpa wali ”H.R Al-Khomasah kecuali An-Nasiyah.[7]
Syarat-syarat saksi
Sakasi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang, lelaki, muslaim, baligh, mendengar serta melihat serta mengerti akan maksud akad nikah.
Tetapi menurut hambali dan hanafi, boleh juga saksi itu seorang lelaki dab dua orang perempuan. Dan menurut hanafi, boleh dua orang atau dua orang fasik (tidak adil).
Sebagaian besar ulama berpendapat sakasi merupakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu akad perkawinan (akad nikah) dan kedua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat syafi’ih, Hanafi dan Hambali. Adapun dasar yang menyatakan perkawinan wajublah dihadiri dua orang saksi adalah.


Artinya: tidak ada kad nikah kecuali seorang wali dan dua orang saksi. HR Ahmad.[8]


[1] M. Ali Hasan, Masailul Fihiyah Al-Haditsa, Ed. 1 (cet,IV; Jakarta: Raja Grafindo, 2000), h.

[2] Drs. H. Spautra, MA, Drs. Gurfran, MA, Fiqhi MAdrasah Aliyah 1, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1994), h. 182
[3] Drs. MUrni Jamal, MA Ilmu Fqhi, (cet, II; Jakarta: CV. Yuliana, 1984), h. 48
[4] Drs. H. Moh Rifa’i, Ilmu Fiqhi Islam Lengkap, (Semarang: CV. Toha Putra, 1978), h. 453
[5] Ust. Drs. Moh. Saifulloh Al-Aziz S. Fiqhi Islam Lengkap (pedoman hokum ibadah islam dengan berbagai permasalahan), Surabaya: Terang Surabaya, 475
[6] Ibid, h. 98-94
[7] Ibid, h. 100
[8] Ibid, h. 108

0 komentar:

Post a Comment